Hari Natal: Duri di tengah jalan Pluralitas

RUMAH INTUISI - ingat Hadis rasul tentang tingkat ke imanan yang mempunyai tujuh puluh tingkatan dan menyingkirkan duri di jalan adalah level yang paling rendah.
Tingkat yang pertama adalah mengucapkan laa ilaha illallah. dengan bersungguh-sungguh meniadakan tuhan lain selain Tuhan itu sendiri (Cak Nur menafsirkan Tuhan itu sendiri ialah Allah swt. yang tiada banding).
Artikel ini ditulis sebagai respon atas momentum tahunan yang kerap terjadi dan menjadi paradoks akhir tahun. Perdebatan teologis tentang perlunya mengucapkan Natal.
Namun tulisan ini juga tidak berniat untuk menambah riuh atas pentingnya tema tersebut lalu masuk secara esensial yang justru malah menambah ramai.
Tulisan ini hanya menangkap fenomenal yang unik atas respon perayaan hari Natal Umat Kristen yang tiap tahun berulang dengan nada dan nyanyian yang sama.
Tulisan ini sekedar bahan renungan bagi kita bahwa, dalam level yang paling rendah, berdasarkan hadis yang dikemukakan di atas, menyingkirkan duri di jalan merupakan salah satu cabang Iman seseorang.
Iman yang justru memiliki dimensi sosial yang fundamental. Mari kita renungi!
Pada level yang paling tinggi, tingkat keimanan seseorang adalah mengucapkan Laa ilaha Ilallah. Namun, mengucapkan bukan hanya sebatas lisan. ucapan mengesakan Tuhan tentunya memiliki konsekuensi.
Konsekuensi itu berupa bagaimana seseorang mampu menihilkan apapun selain Tuhan dalam seluruh aspek kehidupannya. termasuk menihilkan ke egoan dalam dirinya.
Tidak membutuhkan apapun selain perkenan Tuhan. tidak butuh validasi, penilaian makhluk dan sederet prestise-prestise semu dari manusia yang tidak mempunyai ukuran dan batasan yang jelas.
Faktanya, ketika melihat pelaku maksiat, kita mencibirnya lalu memberikan penilaian buruk lantas merasa diri kita lebih baik dari pelaku maksiat itu sendiri.
Ketika melihat perdebatan, kita merasa lawan debat kita salah lantas menghakiminya dengan penilaian buruk dan yang paling ekstrim memusuhinya.
ketika kita teriak Allahu Akbar, kita membesarkan kalimat Allah, tapi lupa mengecilkan etintas diri kita sebagai manusia yang berpotensi salah, lemah dan bahkan hina.
Ketidaksadaran ini sangat berpotensi menganggu hubungan sosial wabil khusus sesama pemeluk agama dan sesama Muslim yang berbeda faham (pengucap natal versus pelarang mengucapkan Natal).
Ketidaksadaran ini juga berpotensi melahirkan ego sektoral, menganggap kebenaran itu tunggal, mutlak lalu memaksakan orang lain dan menganggap mereka yang berbeda keyakinan dengannya dengan rendah.
Ego sektoral itu pada akhirnya mengakibatkan intoleran terhadap siapapun. Intoleran ini merupakan duri di tengah jalan pluralitas dan kerukunan umat beragama.
Lantas kita sebagai manusia yang memiliki iman yang lemah tentunya sadar bukan, apa yang mesti kita lakukan ketika melihat duri di jalan??
SELAMAT BERBAHAGIA DI HARI NATAL, RAYAKAN KEBAHAGIAN DENGAN VERSI TERBAIK DARI DIRIMU!
Tinggalkan Komentar
Tambah Komentar
Blog Terkait

Penghulu Nabi
RUMAH INTUISI - Junjungan......... aku beli buku sirah Nabawiyah Tujuh puluh
Lebih Detail
Catatan Akhir Tahun; Menjadi hidup apa adanya
RUMAH INTUISI - Ada yang sedikit menggelitik dari pemilihan judul artikel ini. Lebih memilih penggunaan kata "Menjadi" dari pada menjalani
Lebih Detail
Para Pendaras Kalimat Cinta, Sebuah Epilog
RUMAH INTUISI - Ketika pertama kali rombongan haji menginjakkan kaki di Tanah Deli, dari perjalanan jauh di semenanjung dua Kota suci
Lebih Detail
1 Muharram: Konsep waktu dalam Filsafat
RUMAH INTUISI - Hari berganti hari, tiba saatnya tahun baru Islam 1 Muharam 1445 H mengunjungi umat manusia dalam sepanjang tahun
Lebih DetailBlog Terkini

Tenang "Dalam Hati"

Muh. Zuhaili: Cahaya Alquran di Singapura

di Balik kisah Rihlah ilmiah Institut Jamiyah Mahmudiyah
Menu
Hubungi Kami
KOMUNITAS LITERASI PERADABAN
|
Tanjung Pura Kabupaten Langkat, Sumatera Utara - 20853 |
|
081360424202 |
|
muhammadsangbintang@gmail.com |