Catatan Stoik #4: Luka, dan Menjadi pemaaf
CATATAN STOIK - Pernah dalam posisi kecewa yang berlarut-larut. Geram, Marah, menangis, bahkan sumpah serapah dalam hati.
Perasaan yang membuat segalanya menjadi kabur, tidak dapat melihat ralitas dengan jelas. memandang semua manusia sama saja, penipu dan pecundang!
Berhari-hari menahan emosi. Rasa sakit hati yang tak semestinya dipelihara dalam hati. Lama kelamaan sakit itu menimbulkan efek.
ketidakstabilan emosi membuat segalanya berantakan. Pekerjaan semrawut. Komunikasi dengan tetangga buruk. Kucing peliharaan saja jadi sasaran, kasihan.
Sampai pada suatu ketika, saat semuanya terasa jenuh. Kesalku tidak menimbulkan efek bagi yang kukesalkan.
Marahku tak mengubah apapun baginya. Dia semakin bahagia, jaya dan sukses. Aku semakin runtuh, gugur atas kemarahan aku sendiri.
Aku menyesal, merenungi bahkan memaki diriku sendiri. Amarah tidak menghasilkan sesuatu yang positif untukku.
Mulai saat itu aku memaksakan diri untuk berhenti dari emosiku. berdamai dengan keadaan yang kurang menguntungkanku dan, memberi maaf untuk keadaan yang melukaiku.
Aku mencoba meruntuhkan ego yang berada dalam diriku yang amat tinggi. Meluruskannya, menertibkannya memberikan pemahaman padanya.
Seraya ku berkata dengan egoku sediri, " Wahai Ego, Engkau adalah sahabat terdekatku sampai kapanpun selagi aku masih hidup di dunia ini.
Tolong aku, biar kita berjalan beriringan bersama. Aku ingin engkau mengerti, damailah denganku, engkau dengarkanlah aku, agar kita bisa mengerjakan dunia ini dengan damai.
Agar kita dapat melukis kehidupan yang singkat ini dengan lukisan yang amat Indah. Agar engkau dan aku tumbuh menjadi pribadi yang kuat.
Mulai saat itu, aku memhami dan mulai melihat, Ada banyak hal di luar sana yang tak mampu ku ubah, sesuai dengan egoku. Aku harus berlapang hati dengan itu.
Aristotels berkata, bahwa tragedi itu adalah imitasi dari tindakan yang mengakibatkan rasa kasihan dan ketakutan (Copleston, 1993:207).
Sebelum mendapatkan tragedi atau kejadian yang kurang menyenangkan, sekarang aku kerap kali membangun rasa mawas diri, bertindak secara berhati-hati.
Berpikir panjang dan bertindak matang. Agar tindakan yang kulaksanakan berdasarkan kebijaksanaan dalam perenunganku yang dalam.
Sekarang aku sering merasakan ketenangan. seperti air laut yang tenang di permukaan, meski yang dikandung didalamnya penuh dengan hiruk pikuk, sampah produksi rumah tangga, Pukat harimau dan alat-alat eksploitas kelautan lainnya, namun dipermukaan ia tetap agung tenang.
Tinggalkan Komentar
Tambah Komentar
Blog Terkait
Catatan Stoik #17: Menjadi Manusia semesta
CATATAN STOIK - Dalam kehidupan ini, bolehlah kita menoleh kepada diri kita sendiri tentang bagaimana kita memperlakukan apa-apa yang berada di
Lebih DetailCATATAN STOIK #16: Selimut Keinginan
CATATAN STOIK - Keinginan terkadang dapat menjadi sebuah malapetaka. Keinginan malah menjadi penghambat manusia untuk mencapai keinginan itu sendiri. Berapa banyak
Lebih DetailCatatan Stoik #15: Belenggu kebiasaan Buruk
Catatan Stoik - Kebiasaan buruk merupakan sisi gelap masa lalu yang belum tuntas bagi seorang manusia. Ia merupakan kegiatan Amoral (apapun
Lebih DetailCatatan Stoik #14: Waktuku Habis Untuk Kepentingn Orang lain!
Catatan Stoik - Ketika itu, Berapa banyak waktuku tersedot habis memikirkan apa yang "baik" aku lakukan di mata Orang lain. Aku harus
Lebih DetailBlog Terkini
Hari Natal: Duri di tengah jalan Pluralitas
Menelusuri Akar dari kebencian, Gus Miftah dan Sunhaji
PKM UNIMED: SERAH TERIMA TAMAN BACA RUMAH INTUISI
Menu
Hubungi Kami
KOMUNITAS LITERASI PERADABAN
|
Tanjung Pura Kabupaten Langkat, Sumatera Utara - 20853 |
|
081360424202 |
|
muhammadsangbintang@gmail.com |