Catatan Stoik #13: di Luar Lingkaran Kendali
Catatan Stoik - Kematian, pertemuan, rezeki dan ketentuan langit lainnya merupakan perkara besar yang berada di luar kendali manusia. Kita hanya memiliki kendali dalam bersikap ketika menghadapi peristiwa tersebut.
Dulu, aku sering kali melatih kemampuan berbicaraku. Aku memiliki kelemahan dalam berbicara di depan umum. Latihan ini bertujuan agar orang-orang menilaiku pandai berbicara di depan umum
Agar orang-orang menganggapku keren, dan sederet pujian pun dialamatkan untukku. Aku berusaha keras untuk tujuan itu. Namun aku merasa telah melampaui batas maksimal. Namun, kemampuan bicaraku masih biasa-biasa saja.
AKu sering minder terhadap artikulasi, retorikaku yang tidak jelas berkomunikasi di depan publik. Hingga sampai kepada sebuah titik kesadaran Stoik yang aku pelajari, bahwa, kebijaksanaan adalah bertindak sesuai dengan kodrat dan kehendak alamiah.
Kaum Stoa seperti apa yang dipelajari Marcus Aurelius, salah seorang filsuf Stoikisme,dari kekaisaran Romawi bahwa menjauhkan diri dari hal-hal yang retoris (Puisi, keagungan diksi/Permainan kata-kata) adalah hal yang patut disyukuri.
Karena gaya bahasa akan menjadi kaku, kesamaran hikmah akan semakin kabur, orang-orang mengejar estetik dan keindahan diksi saja. (St. George William J Stock, Memahami Stoikisme,Tentang Logika, Etika, dan Fisika Terjemahan. A Giede ti Stoicism, hlm. 30).
Aku gembira, aku sudah merasa hidup dan berbicara bercerita dengan karakterku sendiri. Tidak fasih, tidak runut dan aksentuasi yang berserakan. Tapi aku berhasil menjadi diriku sendiri.
Aku sadar, bicara dengan retorika yang baik adalah sebuah hal yang benar-benar berada di luar lingkaran kendaliku. Aku tak perlu bersusah payah untuk tidak menjadi diriku sendiri.
Namun terkadang, sebahagian kita kerap memaksakan sesuatu yang nyatanya berada di luar kendali kita. Tengoklah Pendidikan di Negeri ini. betapa banyak pendidik memaksakan materi-materi pelajaran kepada anak didiknya.
Pemaksaan tersebut dilakukan demi mengejar capaian pembelajaran. Sementara anak didik tidak sepenuhnya nyaman dengan target dan capaian itu. Mereka disuruh menguasai sesuatu yang tidak mereka senangi.
Pada pelajaran Ekonomi, Mereka dipaksa untuk menghitung laba rugi, sementara mereka lebih menyukai belajar bermain simulasi dan berperan sebagai penjual dan pak Tani dalam pelajaran Seni sastra.
Para orang tua yang kerap memasukkan anaknya kepada sekolah yang sama sekali bukan keinginan dan kemampuan anak-anaknya. Akibatnya, mereka hadir sebagai generasi robot yang dipaksakan. Tanpa nurani yang memiliki kebebasan pikiran.
Mengapa Ikan sering dipaksakan untuk belajar memanjat pohon? Sungguh itu benar-benar berada di luar lingkaran kendalinya.
Tinggalkan Komentar
Tambah Komentar
Blog Terkait
Catatan Stoik #17: Menjadi Manusia semesta
CATATAN STOIK - Dalam kehidupan ini, bolehlah kita menoleh kepada diri kita sendiri tentang bagaimana kita memperlakukan apa-apa yang berada di
Lebih DetailCATATAN STOIK #16: Selimut Keinginan
CATATAN STOIK - Keinginan terkadang dapat menjadi sebuah malapetaka. Keinginan malah menjadi penghambat manusia untuk mencapai keinginan itu sendiri. Berapa banyak
Lebih DetailCatatan Stoik #15: Belenggu kebiasaan Buruk
Catatan Stoik - Kebiasaan buruk merupakan sisi gelap masa lalu yang belum tuntas bagi seorang manusia. Ia merupakan kegiatan Amoral (apapun
Lebih DetailCatatan Stoik #14: Waktuku Habis Untuk Kepentingn Orang lain!
Catatan Stoik - Ketika itu, Berapa banyak waktuku tersedot habis memikirkan apa yang "baik" aku lakukan di mata Orang lain. Aku harus
Lebih DetailBlog Terkini
Hari Natal: Duri di tengah jalan Pluralitas
Menelusuri Akar dari kebencian, Gus Miftah dan Sunhaji
PKM UNIMED: SERAH TERIMA TAMAN BACA RUMAH INTUISI
Menu
Hubungi Kami
KOMUNITAS LITERASI PERADABAN
|
Tanjung Pura Kabupaten Langkat, Sumatera Utara - 20853 |
|
081360424202 |
|
muhammadsangbintang@gmail.com |