Guruku Sang Filsuf
RUMAH INTUISI - Kita semua tentu pernah mengalami pendidikan dan pengetahuan yang didapatkan dari guru. Guru adalah orang yang paling mulia setelah kedua orang tua. Tanpa guru, kita tidak dapat memiliki pengetahuan tentang banyak hal dalam dunia ini.
Tanpa guru, kita mungkin tidak tahu bagaimana caranya berterimakasih kepada dunia. Dunia yang telah banyak memberikan nilai-nilai yang tentunya dapat kita jadikan pedoman dalam menuntun hidup. T
anpa guru juga, kita tidak tahu bagaimana kita mulai menorehkan makna, aktualisasi serta ekspresi yang baik sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada Allah.
Kita telah mengetahui bagaimana sejarah Hirosima dan Nagasaki diserang Bom atom. Semuanya porak poranda. Gedung-gedung nan tinggi luluh lantak, asap mengepul di udara.
Ratusan ribu korban jiwa di kedua kota tersebut, sehingga hampir dapat dikatakan bahwa peradaban di negeri Sakura itu mengalami satu titik yang sangat mengkhawatirkan. Dalam sebuah kepanikan yang luar biasa, Sang Kaisar Hirohito bertanya kepada jendral.
“Berapa guru yang tersisa?” Bukannya bertanya, berapa jumlah aset negaranya yang hancur, fasilitas publik gedung-gedung dan sebagainya. Beliau malah bertanya berapa sisa para pendidik di negeri yang sedang porak poranda itu.
Para guru yang bertugas mengajar dan mendidik. Sang kaisar tahu dan menyadari betul bahwa, kehancuran fisik yang diakibatkan perang dunia yang sedang berlangsung tersebut dapat saja diperbaiki kembali, bahkan dalam waktu relatif singkat.
Namun, jika kehancuran sumber daya manusia terjadi secara parah, dengan kehilangan orang-orang yang terbaik diakibatkan para guru yang mendidik mereka, yang mengajari mereka sehingga menjadi manusia unggul kini gugur,akibat Bom tersbut. hal itu menjadi kehancuran yang paling dahsyat di sepanjang sejarah.
Begitulah mereka menghargai peran seorang guru. Dan kita dapat buktikan hari ini bagaimana kekuatan negeri tersebut. Negeri yang diperhitungkan sebagai salah satu negeri adidaya dalam peradaban dunia.
Negeri yang menghasilkan Sumber Daya Manusia yang tangguh. Negeri yang memberikan penghargaan yang tinggi kepada seorang Sensei dan menjadi seorang guru di negeri mereka, butuh proses perjalanan yang sangat panjang.
Lantas bagaimana potret pendidikan dan para guru di negeri merah putih kita saat ini?. Dimana anggaran pendidikan yang dapat dikatakan besar namun tidak sebanding dengan output yang dihasilkan.
Belum lagi kita dihadapkan oleh degradasi moral yang kebanyakan para pelakunya adalah sebahagiaan dari mereka yang berstatus pelajar, siswa dan mahasiswa. Krisis karakter, tidak memliki atitude yang baik kerap terjadi hari ini.
Para gurupun kehilangan orientasi yang jelas dalam aktifitas pengabdiannya. Namun, lagi-lagi SDM guru yang memiliki karater sebagai Muaddib yang menanamkan nilai-nilai sosial transenden, Murabbi, membina memberikan perlindungan serta kasih sayang dan Mu’alim sebagai guru yang memberikan ilmu pengetahuan yang baik dan berkah bagi para peserta didiknya kian menghilang dan belum berkembang.
Satu persatu dari mereka kehilangan orientasi pengabdian yang jelas. Dari saat ke saat, kuantitas Guru kian meningkat. Berbagai insentif, tunjangan, honorium serta pendapatan yang diberikan oleh pemerintah tidak berbanding lurus secara signifikan terhadap peningkatan kapasitas dan kualitas mengajar dan mendidiknya sang guru.
Sistem pendidikan yang dibangun berbasis karakter merupakan formulasi yang baik sebagai ikhtiar yang dilakukan pemerintah. Sebuah usaha dalam mewujudkan perbaikan pendidikan yang bermutu.
seperti Alat pendukung kelengkapan pendidikan pun diupayakan agar tercipta efektifitas pendidikan dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar. Sarana prasarana terus digalakkan.
Optimalisasi pengawasan terus dijalankan. Monitoring evaluasi pendidikan terus dilakukan. Saban minggu, bulan tahunan pelatihan SDM para guru terus bergulir.
Kegiatan rutin kordinasi secara Hirarkis terus berlanjut. Korona pun datang, badainya semakin kencang menerpa segala lini kehidupan. Termasuk anggaran dan badan anggaran.
Terpangkas di bagian dana pendidikan. Kegiatan tatap muka disulap menjadi dalam jaringan alias Daring. Ini menjadi sebuah masalah bagi dunia pendidikan.
Belum lagi rangkaian ikhtiar yang telah satu persatu disebutkan di atas tadi menemukan hasil yang signifikan, kita harus dihadapkan dengan kebiasaan normalitas yang baru.
Kebiasaan yang harus Menyesuaikan aktifitas terutama dalam dunia pendidikan dan pengabdian pada sebuah sekat virtual. Ini persoalan yang pelik. Komunikasi yang terbatas sekat virtual yang tidak efektif sangat menganggu dan menjadi sebuah persoalan tersendiri.
Komunikasi verbal yang memberikan nilai-nilai dalam bangunan utuh pendidikan kini di tengah ancaman. Kita belum sepenuhnya selesai atau sempurna memberikan nilai-nilai kebenaran kepada sang murid.
Sementara badai korona yang lalu menghentakkan kita semua sehingga semakin menjauhkan kita dari visi pendidikan. Kehidupan yang saat ini kering, kerontang, kehilangan makna-makna kejujuran, nirkemanusiaan.
Empati yang semakin berkurang. Pendidikan yang hanya menghasilkan lulusan yang secara pragmatis dapat dan siap kerja. Pendidikan yang menghasilkan direktur propesional terukur.
Namun direktur yang lulusan pendidikan beregengsi itu tidak mempunyai rasa empati yang baik ketika ia melihat di samping gedung kantornya yang megah itu, terseok-seok pengemis meminta makan dan sesuap nasi setiap hari.
Setiap kali direktur itu lewat disampingnya, pengemis tersebut dihardik dan hampir ditendangnya karena menghalangi langkah kakinya. Gedung yang tinggi dan megah sebagai hasil dari pendidikan yang telah dirasakan manusia itu sangat kontras dengan gubuk reot persis berada di sampingnya.
Seharusnya dan sejatinya, ketika berbicara guru, kita harus berbicara tentang kesejatian makna pengabdian bagi peradaban suatu bangsa. Diskursus dialektika tentang Pendidikan tidak melulu bicara kepandaian seorang guru dalam membuat anaknya cerdas dan pintar.
Juga tidak melulu bicara tentang kesuksesan seorang murid dalam mendapatkan pekerjaan ketika ia selesai menamatkan pendidikannya. Juga, tidak melulu bicara tentang angka-angka, kuantitas kognisi seorang murid.
Nilai yang ia peroleh atau penguasaan ia terhadap mata pelajaran yang dijarkan oleh gurunya. Pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan tidak menjadikan mereka pintar sementara teman sebangkunya merasa bodoh.
Pendidikan yang mereka alami itu tidak menjadikan mereka Tinggi hati sementara teman yang tidak pandai merasa rendah diri. Pendidikan juga tidak Menjadikan mereka pandai ilmu eksakta, namun bodoh nilai-nilai spiritualitas dalam karakternya. Kita perlu sosok Guru yang memiliki kebijaksanaan
seorang Guru yang memiliki perbendaharan Hikamah secara teori dan kalam. Namun juga menjadi hikmah itu sendiri, sehingga sang Murid sempurna mentauladani citra Guru tersebut.
Guru yang mencintai Hikmah dan kebijaksanaan. Bukan hanya digugu dan tiru, juga sebagai tempat mengadu pilu.... Selamat Hari guru untuk Indonesiaku
Tinggalkan Komentar
Tambah Komentar
Blog Terkait
Hari Natal: Duri di tengah jalan Pluralitas
RUMAH INTUISI - ingat Hadis rasul tentang tingkat ke imanan yang mempunyai tujuh puluh tingkatan dan menyingkirkan duri di jalan adalah
Lebih DetailCatatan Akhir Tahun; Menjadi hidup apa adanya
RUMAH INTUISI - Ada yang sedikit menggelitik dari pemilihan judul artikel ini. Lebih memilih penggunaan kata "Menjadi" dari pada menjalani
Lebih DetailPara Pendaras Kalimat Cinta, Sebuah Epilog
RUMAH INTUISI - Ketika pertama kali rombongan haji menginjakkan kaki di Tanah Deli, dari perjalanan jauh di semenanjung dua Kota suci
Lebih Detail1 Muharram: Konsep waktu dalam Filsafat
RUMAH INTUISI - Hari berganti hari, tiba saatnya tahun baru Islam 1 Muharam 1445 H mengunjungi umat manusia dalam sepanjang tahun
Lebih DetailBlog Terkini
Hari Natal: Duri di tengah jalan Pluralitas
Menelusuri Akar dari kebencian, Gus Miftah dan Sunhaji
PKM UNIMED: SERAH TERIMA TAMAN BACA RUMAH INTUISI
Menu
Hubungi Kami
KOMUNITAS LITERASI PERADABAN
|
Tanjung Pura Kabupaten Langkat, Sumatera Utara - 20853 |
|
081360424202 |
|
muhammadsangbintang@gmail.com |