Husnudzon, Tawaran kejernihan pikiran zaman Modern
RUMAH INTUISI - Lebaran mempunyai arti tersendiri bagi umat Islam setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa, menahan lapar dan dahaga.
Berbagai kemeriahan lebaran menjadi kebahagiaan tersendiri dan selalu dinanti-nantikan umat Islam setiap tahun.
Salah satu kebiasaan yang kerap dilakukan adalah Halal bi Halal mengunjungi kediaman keluarga dan sanak famili baik yang jauh maupun terdekat.
Bermacam-macam ekspresi hadir ketika kegiatan Halal bi halal atau berkunjung ke rumah sanak famili. bertanya-tanya kabar, sekedar basa-basi, sampai kepada pertanyaan-pertanyaan privasi pun muncul.
Hingga pertanyaan-pertanyaan yang semestinya tidak layak dilontarkan pun turut muncul. Sudah menikah,? sudah punya anak? koq belum punya anak? pekerjaannya apa? kenapa belum juga nikah?
Deretan pertanyaan ini dalam satu posisi dapat menjadi beban bagi yang menjawabnya. Jika seseorang yang belum juga menikah hingga Usia yang cukup matang akan sulit menghadapi pertanyaan, Kapan menikah?
menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang pekerjaan serasa beban bagi kita yang belum mendapatkan pekerjaan. Hal tersebut kerap muncul pada acara-acara perkumpulan sanak famili, pada saat-saat hari besar termasuk lebaran ini.
Tradisi Nusantara memang berbeda di negara lain. Jika kita berada di negara Eropa, deretan pertanyaan-pertanyaan di atas adalah hal yang tabu untuk ditanyakan.
Mereka menganggap tidak sopan jika mempertanyakan hal-hal tersebut karena dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Namun Kita tidak mungkin dapat menghindari dari kejaran pertanyaan-pertanyaan privasi tersebut.
Kita tidak mungkin juga menyalahkan mereka yang melontarkan pertanyaan tersebut dengan dalih privasi atau yang lainnya. Tentunya akan menimbulkan konflik kecil yang mengganggu keharmonisan komunikasi saat itu.
Pertanyaan-pertanyaan yang diucapkan tersebut sesungguhnya inti dari masalah kehidupan pribadi seseorang. Tak jarang ketika terlontar pertanyaan itu, kita kembali fokus terhadap masalah privasi yang selama ini ingin kita lupakan.
Hal ini yang menjadi penyebab mengapa pertanyaan privasi tersebut seyogyanya tidak diungkapkan.Lantas apa yang harus dilakukan?
Mari berpikir positif. berpikir positif setidaknya menghibur hati kita yang sedang dilanda kegalauan akibat pertanyaan yang dilontarkan tersebut. menurut Susetyo (1998), berpikir positif adalah kemampuan berpikir seseorang untuk memusatkan perhatian pada sisi positif dari keadaan diri, orang lain, dan situasi yang dihadapi.
Dalam ajaran Islam, berpikir positif dikenal dengan istilah Husnudzon. Kita dianjurkan untuk senantiasa berpikif baik kepada orang lain.
Misalnya, ketika orang lain menanyakan kapan nikah, pikiran positif kita mengatakan bahwa orang tersebut sedang memberi perhatian kepada kita.
atau bisa jadi orang tersebut mungkin sedang mempersiapkan jodoh untuk kita, dengan berpikir begitu akan mendorong kita menjawabnya dengan ringan dan penuh kesungguhan.
Jika ada yang bertanya, Kamu kerjanya apa? pikiran positif kita berkata ia mungkin saja sedang mempersiapkan pekerjaan yang baik untuk kita. Dengan berpikir begitu kita akan dengan ringan dan jujur menjawabnya.
Jika reaksi yang didapatkan atas jawaban yag kita lontarkan tidak menyenangkan hati kita, kita pusatkan pikiran kita terhadap kebaikan orang yang sedang reaktif kepada kita. Bisa jadi inilah bukti kasih sayang dan perhatian serta kedekatan mereka dengan kita.
dengan begitu kita terhindar dari perasaan galau, sakit hati bersedih lalu menepi dan menyendiri. Imbasnya, menyalahkan takdir dan Tuhan yang seolah sedang tidak berpihak kepada kita.
Perlu kita sadari dan pahami, hati dan pikiran kita adalah perangkat privasi yang sepenuhnya milik kita. kita harus jaga dan sayangi. menghibur hati dan pikiran adalah bentuk menghargai dan mensyukuri nikmat Tuhan yang anugrahi kepada kita.
Kita hidup di zaman Modern namun tidak sepenuhnya menerima modernitas dalam hati dan pikiran kita. Tuntutan materialisme dengan ukuran benda dan materi menjadi tujuan akhir dari kehidupan menimbulkan banyak manusia-manusia yang dilematis lalu stres.
Tuntutan-tuntutan tersebut mengaburkan kejernihan pikiran manusia-manusia modern. Imbasnya, manusia kehilangan sisi orisinalitas dirinya. Ukuran kebenaran baginya adalah materi nir nilai norma dan moralitas.
Realitas tersebut menjadikan berpikir positif menjadi sebuah kebutuhan di zaman ini. Salah satu bentuk mencintai diri kita sendiri adalah berpikir positif.
Tidak ada yang lebih HEBAT dan DAHSYAT mencintai diri kita selain kita sendiri, Percayalah!
Tinggalkan Komentar
Tambah Komentar
Blog Terkait
Hari Natal: Duri di tengah jalan Pluralitas
RUMAH INTUISI - ingat Hadis rasul tentang tingkat ke imanan yang mempunyai tujuh puluh tingkatan dan menyingkirkan duri di jalan adalah
Lebih DetailCatatan Akhir Tahun; Menjadi hidup apa adanya
RUMAH INTUISI - Ada yang sedikit menggelitik dari pemilihan judul artikel ini. Lebih memilih penggunaan kata "Menjadi" dari pada menjalani
Lebih DetailPara Pendaras Kalimat Cinta, Sebuah Epilog
RUMAH INTUISI - Ketika pertama kali rombongan haji menginjakkan kaki di Tanah Deli, dari perjalanan jauh di semenanjung dua Kota suci
Lebih Detail1 Muharram: Konsep waktu dalam Filsafat
RUMAH INTUISI - Hari berganti hari, tiba saatnya tahun baru Islam 1 Muharam 1445 H mengunjungi umat manusia dalam sepanjang tahun
Lebih DetailBlog Terkini
Hari Natal: Duri di tengah jalan Pluralitas
Menelusuri Akar dari kebencian, Gus Miftah dan Sunhaji
PKM UNIMED: SERAH TERIMA TAMAN BACA RUMAH INTUISI
Menu
Hubungi Kami
KOMUNITAS LITERASI PERADABAN
|
Tanjung Pura Kabupaten Langkat, Sumatera Utara - 20853 |
|
081360424202 |
|
muhammadsangbintang@gmail.com |